“Kyai, perkenankanlah
saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun
menyembunyikan ilmunya?“
Pertanyaan ini diajukan
Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih dikenal dengan
Kyai Sholeh Darat, ketika berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario
Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan
khusus untuk anggota keluarga dan Kartini ikut mendengarkan bersama para raden
ayu lainnya dari balik tabir. Karena tertarik pada materi pengajian tentang
tafsir Al-Fatihah, setelah selesai Kartini mendesak pamannya agar bersedia
menemaninya untuk menemui Kyai tersebut.
Tertegun mendengar
pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya,
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“
“Kyai, selama hidupku
baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah),
dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan
buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya,
mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran
Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup
bahagia dan sejahtera bagi manusia?“
Ibu Kartini muda yang di
kala itu belajar Islam dari seorang guru mengaji, memang telah lama merasa
tidak puas dengan cara mengajar guru itu karena bersifat dogmatis dan
indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai Haji Madirono dan neneknya Nyai Haji
Aminah dari garis ibunya, M. A. Ngasirah adalah pasangan guru agama, Kartini
merasa belum bisa mencintai agamanya. Betapa tidak? Beliau hanya diajar
bagaimana membaca dan menghapal Al-Qurâ’an dan cara melakukan shalat, tapi
tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya. Pada waktu itu penjajah Belanda
memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qur’an asal jangan diterjemahkan.
Tergugah dengan kritik
itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dan
menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran
jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga
surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini saat beliau menikah
dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903.
Kyai Sholeh Darat keburu
meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menterjemahkan satu
jilid tersebut. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu pun
sudah cukup membuka pikiran Ibu Kartini mengenai Islam dan ajaran-ajarannya.
Salah satu hal yang
memberikan kesan mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir Surat
Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door
Duisternis Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari
petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati Ilan Nuur yang terdapat dalam Surat
Al-Baqarah ayat 257. Oleh Armijn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa
Melayu atau Indonesia sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang. Padahal jika
berangkat dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tersebut lebih tepat
dimaknai sebagai Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang dapat ditafsirkan sebagai
dari pemikiran yang tak terarah menuju pemikiran yang dilandasi hidayah Iman
dan Islam?.
Petikan firman Allah
Subhanahu wa Ta`ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut sebenarnya untuk
menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman dan Islam,
di mana dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam kalbunya
mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah yang dialami
oleh Ibu Kartini menjelang akhir hidupnya.
Oleh sebab itu penulis
membagi perjalanan hidup Ibu Kartini yang mengalami pencerahan dalam dua fase,
yaitu fase pra dan selama-pasca mendapat hidayah. Momen perubahannya adalah
pada saat beliau menghadiri pengajian tafsir Al-Qurâ an yang diberikan oleh
Kyai Sholeh Darat tersebut.
Dalam fase pertama, yaitu
fase pra-hidayah, Ibu Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak
adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada
keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya.
Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat
perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak
misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas
keluar rumah, hak untuk memilih calon suami. Namun di lain pihak Ibu Kartini
juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga
mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Ibu Kartini juga mengajukan
kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam fase kedua, yaitu
selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau mendapat pencerahan tentang agama
yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan
benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di
mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau
mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya
itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu
meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.
“Moga-moga kami mendapat
rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut
disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Klimaksnya, nur hidayah
itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan
untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang
feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya
sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon diusahakan
pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan
anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.
Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Pikiran beliau ini
mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah,
yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri.
Ibu Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata
“Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya,
karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari
angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya
satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka,
berdiri sendiri.” [Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].
Tidak hanya itu, nur
hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang
tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan
contoh. Ibu Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya.
Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam
masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut
sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].
Dan yang lebih penting
lagi, beliau menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara terselubung yang
dilakukan oleh teman-temannya. Ibu Kartini menulis, “Bagaimana pendapatmu
tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata
atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam,
melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang
sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan
mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E.
Abendanon, 31 Januari 1903].
Allah Subhanahu wa Ta`ala
Maha Berkehendak dengan menggariskan hidup Ibu Kartini yang terbilang cukup
pendek, 25 tahun, yaitu empat hari setelah melahirkan putranya, R. M. Soesalit.
Dia juga mentakdirkan hidup Kyai Sholeh Darat tidak cukup panjang untuk
menuntaskan buku tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawanya, sehingga informasi
mengenai Al-Qur’an yang diterima oleh Ibu Kartini masih terbatas. “Manusia itu
berusaha, Allah-lah yang menentukan” [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer,
Oktober 1900].
Namun sebenarnya itu
sudah cukup untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya visi Ibu Kartini
sebagai sosok muslimah, terutama pada masa-masa akhir hidupnya, yaitu fase
selama dan pasca hidayah. Itu pun juga cukup bagi kita untuk bisa memahami
mengapa beliau pada akhirnya merasa ikhlas menjadi isteri keempat Bupati
Rembang, yang kemudian justru mendukung semua cita-cita perjuangannya dalam
pendidikan terhadap kaum wanita, yaitu dengan mendirikan sekolah wanita di
Kabupaten Rembang. Kartini menulis mengenai suaminya, “Akan lebih banyak
lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang
laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai
saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai
perempuan yang berdiri sendiri. “ ? [Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm.
187].
Dan itu juga cukup untuk
dapat kita bayangkan, bahwa (semoga) Ibu Kartini wafat dalam keadaan husnul
khotimah, setelah sebelumnya diombang-ambingkan oleh berbagai pemikiran
teman-temannya, dan walaupun banyak orang mengulas kumpulan tulisannya dari
berbagai sudut pandang dan agama.
Namun yang juga sangat
penting buat kita muslimah generasi penerusnya adalah pesan-pesan beliau secara
tersirat agar kembali kepada fitrahnya dan selalu berpegang pada Al-Qur’an (dan
Hadits). Al-Qur’an harus selalu dibaca, dipelajari, dihapalkan, dimengerti
maknanya, dan diamalkan, agar benar-benar meninggalkan kegelapan menuju cahaya.
Ajakan beliau ini lebih mendasar dan tentu lebih bermanfaat daripada
mengedepankan isu-isu tentang feminisme dan kesetaraan gender, misalnya yang
pada dasarnya merupakan konsep Barat. Lagipula, sikap yang mempercayai bahwa
sesuatu yang berasal dari Barat itu paling baik, justru digugat oleh Ibu
Kartini sendiri.
Allah Yang Maha Bijaksana
menurunkan Al-Qur’an, di mana salah satu kehendak-Nya adalah justru untuk
mengangkat harkat dan martabat wanita. Pada dasarnya, gerakan emansipasi
perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi wa Sallam tersebut.
Hingga di sini, marilah
kita merenung kembali, apakah kita semua telah mengikuti pesan dan teladan Ibu
Kartini tersebut?
“Ingin benar saya
menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”. (surat Kartini ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903)
dari berbagai sumber
sumber buku : Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, Ombak, 2007, hal 14 – 20.