Minggu, 17 Februari 2013


Mengapa Parenting ... ?


Oleh
Ayah Dedy Andrianto,
Praktisi pendidikan, motivator guru dan orang tua



Assalamu’alaikum wr. Wb.
Ibu dan ayah yang berbahagia, saat ini istilah Parenting menjadi sesuatu trend yang banyak dibicarakan di masyarakat. Parenting merupakan pendidikan untuk para orang tua dalam mendidik anak. Lho apakah perlu ? Kok baru akhir-akhir ini ramai dibicarakan? Orang tua kita dulu tidak ada sekolah parenting juga bisa mendidik anak ? Mengapa sekarang menjadi perlu ?
Pertanyaan itu bisa kita jawab dengan berpikir ulang; 
Dulu, orang tua kita menasehati putra putrinya cukup sekali dua kali saja, dan mereka menurut. Bagaimana dengan anak-anak kita sekarang? Nah adakah bedanya dengan sekarang?.... Lingkungan anak kita,  terlalu banyak pembanding jika dibandingkan dengan jaman dulu, seperti stasiun TV yang semakin banyak dan acara yang semakin variatif. sehingga menjadikan banyak pertanyaan, pertimbangan, alasan, bahkan jawaban yang kreatif dari anak-anak kita, namun sayangnya kita tidak siap dengan pertanyaan atau alasan mereka. 
Kesibukan orang tua, khususnya para Ibu, jika dibandingkan pada  jaman dulu sangat berbeda. Dahulu para ibu masih banyak waktu mengurus anak dan keluarga. Namun sekarang, dampak emansipasi, kesulitan ekonomi, menjadikan kuantitas dan kualitas pengasuhan menjadi berkurang.
Teknologi informasi yang semakin canggih, tidak terkejar oleh para orang tua, sehingga semakin sulit kita mendampingi anak-anak kita

Yang jelas, masa yang beda, seharusnya menjadikan cara yang beda pula, namun banyak dari para ibu dan ayah yang menganggap hal ini adalah persoalan yang sepele. Sampai akhirnya menyadari setelah anak bermasalah.
Sulit memang,... tapi kita harus yakin ; PASTI BISA.... karena Alloh selalu bersama hambanya yang selalu yakin akan Kebesaran Alloh.
Ingat pesan orang bijak : ”Didik dan persiapkanlah anak-anakmu, sesuai zamannya, karena mereka diciptakan untuk hidup pada masa yang berbeda dengan masamu” (Ali bin Abi Thalib ra)
Sehingga dalam mendidik anak, kita memerlukan cara yang tepat sesuai zamannya, maka konsekwensinya kita harus selalu belajar dan belajar.

KOMUNIKASI EFEKTIF Membentuk Pribadi Anak 

Perumpamaan dalam pengasuhan :
7 tahun pertama, anak adalah ’raja’
7 tahun kedua, anak adalah ’pembantu’
7 tahun ketiga, anak adalah ’menteri’
Jika orang tua mengabaikan dan tidak memahami anak di usia 7 tahun pertama, maka mereka akan kesulitan berkomunikasi, kesulitan menasehati, kesulitan mendidik anak di 7 tahun ke dua. Dan akan mendapatkan banyak persoalan di 7 tahun ketiga. 
Maka dalam parenting, memahami anak di 7 tahun pertama menjadi masa yang sangat menentukan.

Berkomunikasi dengan Anak (usia 0 – 18 Tahun)
berkomunikasi dengan anak usia dini berbeda dari berkomunikasi dengan remaja maupun orang dewasa. Pemikiran anak cenderung lebih sederhana, konkret (nyata), penuh khayal, kreatif, ekspresif, aktif, dan selalu berkembang. Untuk itu, ibu dan ayah harus dapat menyesuaikan cara berkomunikasinya dengan anak-anak (bukan anak-anak yang harus menyesuaikan dengan ibu dan ayahnya). Dalam bahasa lain, kita menerapkan komunikasi demokratis atau yang saling menghargai.
Untuk membuat anak merasa nyaman saat berkomunikasi dengan ibu dan ayah, upayakanlah menerapkan hal-hal berikut:
Dengarkan apa yang diceritakan ananda dan pancing untuk lebih banyak bercerita. Ia senang sekali menceritakan pengalaman-pengalaman yang baru dilaluinya dan ia akan bersemangat bercerita, jika ibu-ayah mendengarkan dan tertarik dengan apa yang diceritakannya.
Saat ananda sedang menceritakan sesuatu, fokuskan perhatian pada ceritanya. Hentikan sejenak kegiatan yang ibu-ayah lakukan, ajak ia mendekat dan dengarkan dengan saksama. Jika perlu, beri sedikit tanggapan.
Ulangi cerita ananda untuk menyamakan pengertian, karena mungkin bahasa anak berbeda dengan bahasa kita, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami cerita anak.
Bantu ananda mengungkapkan perasaannya dengan bertanya. Jika ananda masih bingung tentang apa yang dirasakannya, apa yang membuatnya sedih atau gembira, maka dengan meminta ia bercerita akan membuatnya merasa diperhatikan. 
Bimbing ananda untuk memutuskan sesuatu yang tepat. Jelaskan akibat apa yang akan terjadi jika ia mengambil suatu keputusan, jelaskan sebab dan akibat dari keputusan itu secara sederhana agar mudah dimengerti olehnya.
Emosi ananda yang masih belum stabil membuat ia mudah marah. Tunggu sampai ia tenang, baru dekati dan tanyakan apa yang mengesalkan hatinya. Jangan sampai membuat ananda merasa sedang diabaikan atau tak diacuhkan. 
Saat berkomunikasi dengan anak usia dini, ibu dan ayah tak perlu malu, misalnya harus berperan sebagai badut di depan anak, jika dengan cara itu anak akan lebih bisa memahami dan mengerti apa yang ibu-ayah maksudkan.
Komunikasi dengan anak yang dijalin sejak dini dapat memudahkan dalam mendidik dan mengarahkan anak usia dini.


Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Ibu-Ayah Ketika Berkomunikasi dengan Anak

I. Yang tidak boleh dilakukan:

A. 12 gaya berkomunikasi berikut ini:
1. Memerintah tanpa contoh 7.    Menyalahkan
2. Meremehkan         8.    Menasehati/menggurui
3. Membandingkan 9.    Membohongi
4. Memberi julukan negatif 10.  Menghibur
5. Mengancam         11.  Mengkritik
6. Menyindir         12.  Menyelidik

Bila salah satu gaya itu dilakukan, maka:
- Anak usia dini tidak percaya pada perasaannya sendiri.
- Anak usia dini tidak percaya diri. 

B. Berbicara tergesa-gesa.
        Karena:
 - Kemampuan anak usia dini menangkap pesan masih terbatas.
 - Tidak memberi kesempatan pada anak usia dini untuk memahami pesan.
        Bila hal tersebut dilakukan, maka:
        - Anak usia dini tidak memahami pesan. 
        - Terjadi banyak kesalahan dalam proses pengasuhan, akhirnya ibu-ayah jadi sering marah.

II. Yang boleh dilakukan: 

A. Membaca bahasa isyarat tubuh (perilaku anak).
        Karena:
- Bahasa tubuh atau perilaku anak lebih mudah dilihat dan tidak pernah berbohong.
- Bahasa tubuh lebih nyata dibandingkan dengan bahasa lisan.
Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka:
- Kita tidak akan memahami anak.
- Anak usia dini lebih mudah emosi/marah.

B. Mendengarkan ungkapan perasaan anak.
Dengan kita mendengarkan ungkapan perasaan anak berarti:
- Mengurangi emosi anak.
- Merangsang kemampuan berbicara.
Caranya:
- Kita ikut merasakan kesedihan, kegelisahan, dan kesenangan anak.

C. Mendengarkan aktif.
Untuk membangun anak dalam hubungan sosialnya dan kepercayaan dirinya..
Caranya:
- Dengarkan dengan sungguh-sungguh sepenuh perasaan.
- Wajah ibu-ayah menghadap langsung ke wajah anak, dengan pandangan mata sejajar.

D. Menggunakan “pesan saya….”. 
Untuk melatih anak memahami perasaan orang lain.
Caranya:
- Ungkapkan perasaan sayang (positif) ibu-ayah kepada anak. Contoh, ”Ibu khawatir kalau kamu berlari-larian seperti itu, nanti kamu bisa terjatuh, Nak. Pesan Ibu, berjalan pelan saja ya Nak” Atau, “Ayah sayang kamu, Nak. Karena itu Ayah sedih kalau kamu suka memukul temanmu, Pesan ayah, sayangi temanmu ya Nak. ”

E. Menggunakan kata motivasi
Gunakan kata ”ayo”, ”coba”, ”mari”, ”silakan” untuk menggantikan kata ”jangan” dan ”tidak”. Catatlah berapa kali dalam sehari ibu dan ayah menggunakan kata ”tidak”, ”sudah”, ”berhenti”, ”jangan”, ”tunggu”, ”ayah/ibu bilang apa”. Gantilah kata-kata tersebut dengan kata-kata positif dalam komunikasi:
- Untuk memberikan motivasi dan dukungan, kata ”ayo”, ”coba”, ”mari”, ”silakan” dapat membantu anak usia dini mencoba melakukan. Sedangkan kata ”jangan” dan ”tidak boleh” kadang malah dapat mendorong anak melakukan perlawanan, penolakan atau ingin mencoba. Contoh kalimat larangan, ”Jangan naik pohon, nanti jatuh!”
Dapat diganti dengan kalimat ajakan, “Ayo, kita bermain di bawah pohon saja, pasti lebih menyenangkan.”
- Untuk menggantikan kalimat larangan harus diberikan pilihan yang dapat dipilih anak. Misalnya, seorang anak bernama Ade, meloncat-loncat di atas kursi, maka kalimat yang kita gunakan, misalnya, “Ade boleh duduk di atas kursi atau boleh meloncat di atas karpet ini.”

F. Menggunakan kalimat dan kata-kata positif.
Mengajak dengan menggunakan kalimat positif dan melarang dengan alasan yang bisa dipahami anak. 
Contoh:
- Anak mau naik pohon yang basah karena hujan. 
Kalimat yang biasa digunakan adalah, ”Kamu jangan naik pohon, nanti jatuh.” Sebaiknya ganti dengan kalimat, ”Nak, coba lihat, pohon ini licin karena hujan semalam,  kamu bisa terpeleset dan jatuh kalau naik pohon ini.” Atau, ”Pohon ini licin karena hujan semalam, kamu bisa terpeleset dan jatuh kalau memanjatnya, jadi sebaiknya kamu tidak naik pohon ini.” 
- Anak berjalan dengan menyeret selimutnya. 
Kalimat yang biasa digunakan, ”Selimutnya jangan diseret-seret begitu, nanti jadi kotor.” Gantilah dengan kalimat positif berikut, ”Maaf, Nak, selimutnya sebaiknya tidak diseret-seret begitu, nanti jadi kotor.” Atau, ”Maaf, Nak, angkat selimutnya supaya tetap bersih.”

G. Membiasakan mengucapkan kata “terima kasih”, “permisi”, ”maaf” dan ”minta tolong” pada anak sesuai dengan kejadiannya.
Contoh:
- “Terima kasih ya, Nak, Bunda dibantu merapikan mainan.”
- “Permisi ya, Nak, Ibu ke dapur sebentar.” 
- “Maaf, Nak, kita bermainnya sudah cukup dulu, sekarang waktunya mandi.” 
- “Nak, Ayah minta tolong, sampahnya dibuang di tempat sampah, ya.” 

H. Mengembangkan pertanyaan terbuka.
Untuk melatih berpikir kritis dan kecerdasan anak usia dini.
Caranya:
- Ajari anak membedakan perbuatan baik dan buruk.
Contoh, ketika anak menonton film kartun Tom and Jerry, tanyakan kepadanya, ”Nak, menurutmu, perbuatan Tom dan Jerry yang selalu berkelahi itu, baik apa tidak ya? Sebaiknya bagaimana, ya?”
- Ajari anak membedakan benar dan salah.
Contoh, ”Nak, sebaiknya kita membuang sampah di mana, ya?”

I. Menggunakan kata-kata yang benar.
Untuk melatih anak memiliki pengetahuan tentang tata bahasa yang benar, kita tidak dibenarkan mengikuti atau menirukan kata-kata  anak yang masih belum jelas, atau pemenggalan kata yang tidak utuh. Contoh: kata ”mam-mam” untuk ”makan”, ”embin” atau ”obin” untuk ”mobil”, dan sebagainya. 
Jadi, kita harus mengucapkan kata dengan istilah yang sebenarnya dan jelas. Contoh, kita mau meminta anak usia dini menirukan kata ”makan”. Jangan katakan, ”Nak, agar kamu jadi kuat dan sehat, kamu harus ma....” (mengharap anak melanjutnya dengan suku kata ”kan”). Seharusnya kita mengatakan, ”Nak, agar kamu jadi kuat dan sehat, kamu harus makan. Harus apa, Nak?”, dengan harapan anak akan mengatakan ”makan”. Jadi, gunakan kata yang utuh.


J. Memberikan contoh perbuatan dari orangtua.
Apa yang dilihat anak akan dilakukan, karena anak lebih percaya pada apa yang dilihat daripada didengar. Jadi, sebaiknya ibu dan ayah memberikan contoh perbuatan secara langsung pada anak.
Antara lain:
- Pembiasaan menggosok gigi saat anak telah tumbuh giginya. Ibu dan ayah menggosok gigi di dekat anak, anak diberikan sikat gigi yang sesuai dan dapat memotivasinya untuk mencoba, semisal sikat gigi dengan bentuk dan gambar-gambar lucu.
- Pembiasaan membuang sampah di tempat sampah. Ibu dan ayah menunjukkan sambil berkata, ”Kalau membuang sampah harus di tempat sampah.”
- Pembiasaan merapikan mainan. Ibu dan ayah memberikan contoh merapikan mainan, lalu anak diminta melanjutkan sampai tuntas. Atau, ibu-ayah mengajak dan anak merapikan mainan bersama-sama, ”Nak, ayo kita simpan kembali mobil-mobilan ini di kotak mainannya.” 
- Pembiasaan membaca. Ibu dan ayah seringlah membaca buku, majalah, atau koran di dekat anak. Sediakan buku cerita bergambar yang sesuai dengan usia anak untuk merangsang anak tertarik dengan buku dan akhirnya jadi gemar membaca.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar